TEORI BELAJAR
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori
yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman [1].
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran
psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat
adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin,
2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan
perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah
input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa
saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses
yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus
dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa
yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran
behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula
bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga
semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1)
Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3)
Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in
Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya
adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya
para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam
pembelajaran.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses
interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang
terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang
dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan
belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit
yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut
Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell,
Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat
memperkuat respon
Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi
antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat
diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun
dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan
karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena
kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada
pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara
stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat
terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori
evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan
biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah
penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga
stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan
kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud
macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga
dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum
kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada
waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell,
Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon
untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan
terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon
lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang
baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru.
Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam
kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi
stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap.
Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting
dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat
mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan
apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan
tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar
lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep
belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara
stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang
kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima
seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan
saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon
yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku
(Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin
timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah
laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan
perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai
suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi
stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih
menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan
menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu
keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki,
dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut
oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang
paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.
Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran
berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada
konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan
Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali
tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel
atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat
diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu
menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan
respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan
adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman
penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak
yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata
perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda
tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus
dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh
pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan
pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif.
Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping,
yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan
peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor
yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan
atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori
behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan
pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative
reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan
berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam
proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat
dengan Guthrie, yaitu:
§ Pengaruh hukuman terhadap perubahan
tingkah laku sangat bersifat sementara;
§ Dampak psikologis yang buruk mungkin
akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung
lama;
§ Hukuman yang mendorong si terhukum
untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari
hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan
hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai
penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya
terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang
muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai
stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya,
seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar
tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi
jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan)
dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk
memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan
dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement).
Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat
respons.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya
terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga
kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran
yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer
of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau
pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman
yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap
sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari
pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat
diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam
proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses
pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar
untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri.
Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau
robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi
yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan
telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar
harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu
secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar,
sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan
sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga,
ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar
atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga
kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik
ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas
“mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang
sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau
materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi
fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti
urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan
pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan
kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan
pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan
secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara
“benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar
secara individual.
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman [1].
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi
belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik
pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran
ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara
stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar
sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini
dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang
berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar,
sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon
tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang
diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon)
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran
behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula
bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga
semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik,
meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary
Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5)
Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage,
Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah
Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas
karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam
pembelajaran.
Daftar isi [sembunyikan] 1 Teori Belajar Menurut
Thorndike 2 Teori Belajar Menurut Watson 3 Teori Belajar Menurut Clark Hull 4
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie 5 Teori Belajar Menurut Skinner 6 Analisis
Tentang Teori Behavioristik 7 Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran 8
Rujukan
[sunting] Teori Belajar Menurut Thorndike Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike
yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler,
1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat
respon.
[sunting] Teori Belajar Menurut Watson Watson
mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon,
namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan
dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut
sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson
adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan
dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada
pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
[sunting] Teori Belajar Menurut Clark Hull Clark Hull
juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan
pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles
Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku
bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh
sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan
biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam
seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam
belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon
yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku
juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis
(Bell, Gredler, 1991).
[sunting] Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie Azas
belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali
cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie
juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak
hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus
dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik
perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon
bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman
(punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat
mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan
apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan
tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
[sunting] Teori Belajar Menurut Skinner Konsep-konsep
yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih
komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi
melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan
tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh
sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu,
karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi
antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang
diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah
yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu
dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara
stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon
tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu
penjelasan lagi, demikian seterusnya.
[sunting] Analisis Tentang Teori Behavioristik Kaum
behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang
pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka
behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan
menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu.
Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana
sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut
oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang
paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.
Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram,
modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan
Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali
tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel
atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat
diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu
menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan
respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan
adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman
penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak
yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata
perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat
berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya
stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya
pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati
tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan
pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif.
Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping,
yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak
faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar
pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori
behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan
pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement)
cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam
proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat
dengan Guthrie, yaitu:
Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku
sangat bersifat sementara; Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi
(menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama; Hukuman
yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk)
agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si
terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan
yang diperbuatnya. Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai
penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya
terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang
muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai
stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya,
seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar
tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi
jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan)
dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk
memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan
dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement).
Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat
respons.
[sunting] Aplikasi Teori Behavioristik dalam
Pembelajaran Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap
arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini
adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan
akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran
yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan
(transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau
pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman
yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap
sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari
pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran
yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi
belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati
sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses
evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses
pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar
untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri.
Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan
stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot.
Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang
ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan
telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar
harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu
secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar,
sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan
sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga,
ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar
atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga
kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik
ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas
“mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang
sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi
pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan
kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada
buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali
isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada
hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan
secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara
“benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar
secara individual.
[sunting] Rujukan ^ [Gage, N.L., & Berliner, D.
1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally] Bell
Gredler, E. Margaret. 1991.
Belajar dan
Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali Moll, L. C. (Ed.). 1994.
Vygotsky and
Education: Instructional Implications and Application of Sociohistorycal
Psychology. Cambridge: Univerity Press Degeng, I Nyoman Sudana. 1989.
Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud
Gagne, E.D., (1985).
The Cognitive Psychology of School Learning. Boston,
Toronto: Little, Brown and Company Light, G. and Cox, R. 2001.
Learning and Teaching ini Higher Education. London:
Paul Chapman Publising Slavin, R.E. 1991.
Educational Psychology. Third Edition. Boston: Allyn
and Bacon Slavin, R.E. 2000.
Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth
Edition. Boston: Allyn and Bacon Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik" hing ini Higher Education.
London: Paul Chapman Publising
§ Slavin, R.E. 1991. Educational
Psychology. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon
§ Slavin, R.E. 2000. Educational
Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon
P O S T U R
Postur atau
perawakan dapat dideteksi sejak dini. Postur menunjukkan karakteristik individu
tidak hanya dapat membedakan antar individual. Secara umum postur yang baik
apabila seseorang dalam posisi berdiri akan tampak seimbang pada garis
segmentalnya baik dari samping maupun dari sisi depan.
Postur yang buruk dapat disebabkan oleh adaptasi otot, tulang dan persendian dalam waktu yang lama berada pada posisi yang tidak benar. Pengawasan sejak usia dini sangat dianjurkan. Beberapa penyebab buruknya postur diantaranya menonton televisi dalam waktu yang lama pada posisi kurang baik, kebiasaan posisi duduk yang tidak tepat, diet yang kurang tepat, pencahayaan ruangan tidak memadahi, akibat berat badan atau beban yang lain, dan tones otot yang buruk (lebih spesifik pada bagian punggung). Kondisi Postur yang Buruk diidentifikasi sebagai
Postur yang buruk dapat disebabkan oleh adaptasi otot, tulang dan persendian dalam waktu yang lama berada pada posisi yang tidak benar. Pengawasan sejak usia dini sangat dianjurkan. Beberapa penyebab buruknya postur diantaranya menonton televisi dalam waktu yang lama pada posisi kurang baik, kebiasaan posisi duduk yang tidak tepat, diet yang kurang tepat, pencahayaan ruangan tidak memadahi, akibat berat badan atau beban yang lain, dan tones otot yang buruk (lebih spesifik pada bagian punggung). Kondisi Postur yang Buruk diidentifikasi sebagai
a. Lordosis.
Memunyai karakteristik pembentukan kurva ke depan pada bagian bawah tulang
punggung, dan sacrum.
b. Kyphosis.
Mempunyai karakteristik pembentukan kurva ke belakang pada bagian atas tulang punggung.
c. Scoliosis.
Mempunyai karakteristik pembentukan kurva ke samping pada tulang punggung, yang
dapat terjadi dua bentuk yaitu huruf C atau huruf S.
Untuk dapat melihat
kondisi postur anak perlu adanya pengawasan melalui posture assessment chart yang
dapat dijadikan dokumen perkembangan postur anak dari waktu ke waktu.
TAKSONOMI
GERAK
Fokus utarna dari
para pelaku pendidikan jasmani ialah memenuhi tugasnya dalarn membantu manusia
untuk bergerak secara efisien, untuk meningkatkan kualitas penampilan mereka.
untuk mempertinggi kemampuan belajar, dan memelihara kesehatan. Untuk memenuhi
keseluruhan tugas yang ada, para pelaku pendidikan jasmani menjadikan gerakan
sebagai kunci utama dalam pendidikan jasmani dan olahraga karena gerakan fisik
yang konstan telah menjadi karakteristik manusia sehingga melalui gerakan
diharapkan tujuan pendidikan dapat dicapai. Gerakan fisik secara luas diartikan
sebagai suatu perubahan posisi dari suatu objek pada suatu ru-ang yang
melibatkan sebagian atau seluruh tubuh.
Konsep-konsep tertentu yang berhubungan dengan gerakan yang harus dimengerti oleh para guru dan siswa. Menurut Bucher (1983:92) Konsep-konsep gerakan sebenarnya merupakan aspek-aspek dari empat komponen gerak yang terdiri dari
Konsep-konsep tertentu yang berhubungan dengan gerakan yang harus dimengerti oleh para guru dan siswa. Menurut Bucher (1983:92) Konsep-konsep gerakan sebenarnya merupakan aspek-aspek dari empat komponen gerak yang terdiri dari
1. Kesadaran Ruang
(Spatial Awareness - Where dose the body move ?)
Kesadaran ruang mengandung tipe ruang (space). Maksudnya, tubuh bergerak sesuai dengan arah (di-rection), tingkatan (level), alur (path-way) yang dilalui tubuh saat bergerak
Kesadaran ruang mengandung tipe ruang (space). Maksudnya, tubuh bergerak sesuai dengan arah (di-rection), tingkatan (level), alur (path-way) yang dilalui tubuh saat bergerak
a. Ruang (Space)
Semua gerakan
terjadi pada suatu ruang. Ada dua jenis ruang yaitu Per-seorangan (personal)
dan umum (ge-neral). Ruang perseorangan (personal space) ialah ruang terbesar
yang dapat digunakan oleh seseorang pada posisi tetap, seperti ruang yang dapat
dicapai oleh seseorang dengan meregang, membengkok dan melipat. Ruang umum
(general space) ialah daerah tempat seseorang atau beberapa orang dapat
bergerak, seperti dalam gedung, kolam renang atau ruang terbuka. Besarnya ruang
yang dapat digunakan dan jumlah orang dalam ruang tertentu memengaruhi
kemungkinan bergerak.
Pengertian tentang konsep ruang perorangan dan ruang umum ini sangat penting bagi perkembangan gerak anak di masa berikutnya. Konsep ini harus selalu ditekankan tidak sekedar sekali atau dua kali saja, tetapi diharapkan akan tumbuh kesadaran akan keamanan sambil bergerak dalam ru-ang perseorangan dan ruang umum de-ngan menekankan tidak terjadi sentuh-an dan benturan (no toucching and no collisions). Di masa mendatang anak yang telah memiliki bekal penguasaan tentang kesadaran ruang, baik ruang perorangan maupun ruang umum, akan mampu menempatkan posisi badannya sesuai kebutuhan ruang geraknya agar tidak terjadi benturan atau perebutan dengan orang lain, seperti di jalan raya. Seseorang yang memiliki bekal kesadaran ruang akan mampu mem-perkirakan cukup dan tidaknya dia masuk di antara dua kendaraan lain. Da-lam bidang keolahragaan, seseorang yang memiliki bekal kesadaran ruang akan mampu mempertahankan pengu-asaan bola dengan selalu menjaga posisi bola tidak dalam jarak jangkauan lawan. Banyak contoh lain yang meng-gambarkan manfaat penguasaan kesa-daran ruang.
Pengertian tentang konsep ruang perorangan dan ruang umum ini sangat penting bagi perkembangan gerak anak di masa berikutnya. Konsep ini harus selalu ditekankan tidak sekedar sekali atau dua kali saja, tetapi diharapkan akan tumbuh kesadaran akan keamanan sambil bergerak dalam ru-ang perseorangan dan ruang umum de-ngan menekankan tidak terjadi sentuh-an dan benturan (no toucching and no collisions). Di masa mendatang anak yang telah memiliki bekal penguasaan tentang kesadaran ruang, baik ruang perorangan maupun ruang umum, akan mampu menempatkan posisi badannya sesuai kebutuhan ruang geraknya agar tidak terjadi benturan atau perebutan dengan orang lain, seperti di jalan raya. Seseorang yang memiliki bekal kesadaran ruang akan mampu mem-perkirakan cukup dan tidaknya dia masuk di antara dua kendaraan lain. Da-lam bidang keolahragaan, seseorang yang memiliki bekal kesadaran ruang akan mampu mempertahankan pengu-asaan bola dengan selalu menjaga posisi bola tidak dalam jarak jangkauan lawan. Banyak contoh lain yang meng-gambarkan manfaat penguasaan kesa-daran ruang.
b. Arah (Direction)
Dengan adanya
pengertian terha-dap ruang perseorangan dan ruang umum, siswa sekarang dapat
menerap-kan perubahan arah sambil bergerak dalam ruangan. Arah di sini
dimak-sudkan pada gerak maju, mundur, ke samping, ke atas, ke bawah, menyilang
atau kombinasinya dan dapat menge-nali mata angin. Kemampuan untuk bergerak dalam
arah yang beraneka ra-gam merupakan hal yang vital agar berhasil diberbagai
bidang, baik olahraga, menari dan senam. Tujuan dalam konsep arah ini ialah
untuk membuat anak mengerti semua arah gerak yang ada. Di masa mendatang anak
yang telah memiliki bekal penguasaan tentang arah akan mampu dengan mudah
me-ngenali posisinya baik untuk kepen-tingan gerak umum maupun gerak
ke-olahragaan, cepat merespon tentang instruksi arah maupun petunjuk-petunjuk
arah yang seharusnya dilaksanakan da-lam tugas geraknya.
c. Tingkatan (level)
Tubuh bergerak pada
berbagai landasan horizontal seperti tinggi, se-dang, dan rendah. Tujuan
mengajarkan konsep tingkatan ini antara lain
1) untuk membedakan
antara tingkatan tinggi, sedang, dan rendah,
2) untuk melakukan
perubahan sesuai dengan tingkatan landasan
3) untuk
mengkombinasikan perubahan-perubahan tingkatan bersama
Penguasaan tentang
konsep ting-katan ini mencakup perubahan posisi benda tertentu. Di masa
mendatang anak yang telah memiliki bekal penguasaan tentang tingkatan ini akan
mam-pu mengenali posisi dirinya maupun benda lain dalam kaitanya dengan gerak
umum maupun keolahragaan, seperti kemampuan seseorang memprediksikan ketinggian
aman dirinya dari benturan pintu, dalam keolahragaan kemampuan untuk
melemparkan objek aman dari jangkauan lawan yang akan merebutnya.
d. Alur (Pathway)
d. Alur (Pathway)
Alur disini
merupakan suatu ga-ris gerak dari satu tempat ke tempat lain pada suatu ruang
yang tersedia. Hal itu mungkin berupa gerakan seluruh tubuh pada ruang umum.
Sebagai contoh, suatu ayunan pemukul secara horizontal dengan lengan. Dalam mengajarkan konsep alur
memiliki tujuan
1) menciptakan kesadaran siswa dengan berbagai alternatif bagaimana mereka dapat bergerak, baik alur yang dibuat secara langsung mau-pun tidak langsung,
2) mengembangkan kemampuan tubuh untuk bergerak melalui ber-bagai alur,
3) membuat siswa mampu mengidentifikasi dan bergerak pada alur khusus.
Di masa mendatang anak yang telah memiliki bekal penguasaan tentang alur akan mampu dengan mudah mengenali daerah tertentu yang pernah dilaluinya dan dapat memilih jalan ter-pintas untuk mencapai suatu tempat tujuan, bahkan dia akan mudah dalam mengartikan sebuah denah atau petunjuk yang sederhana sekalipun yang berkaitan dengan pencarian sesuatu. Di bidang keolahragaan penguasaan terhadap alur ini akan memberikan kemampuan yang lebih baik pada olah-ragawan yang membutuhkan pengu-asaan peta maupun mengingat alur yang harus dilalui sampai pada garis finish.
2. Kesadaran Tubuh (Body Awarenes - What can the body do ?)
1) menciptakan kesadaran siswa dengan berbagai alternatif bagaimana mereka dapat bergerak, baik alur yang dibuat secara langsung mau-pun tidak langsung,
2) mengembangkan kemampuan tubuh untuk bergerak melalui ber-bagai alur,
3) membuat siswa mampu mengidentifikasi dan bergerak pada alur khusus.
Di masa mendatang anak yang telah memiliki bekal penguasaan tentang alur akan mampu dengan mudah mengenali daerah tertentu yang pernah dilaluinya dan dapat memilih jalan ter-pintas untuk mencapai suatu tempat tujuan, bahkan dia akan mudah dalam mengartikan sebuah denah atau petunjuk yang sederhana sekalipun yang berkaitan dengan pencarian sesuatu. Di bidang keolahragaan penguasaan terhadap alur ini akan memberikan kemampuan yang lebih baik pada olah-ragawan yang membutuhkan pengu-asaan peta maupun mengingat alur yang harus dilalui sampai pada garis finish.
2. Kesadaran Tubuh (Body Awarenes - What can the body do ?)
Kesadaran tubuh ini
utamanya berhubungan dengan identifikasi bagi-an-bagian tubuh dan kemampuan
anak untuk menggabungkannya dengan ge-rak dasar. Gerak dasar ini dibagi
men-jadi tiga kategori:
Gerak Lokomotor (berjalan, berlari, mengayuh sepeda, dan lain sebagai-nya)
Gerak Non Lokomotor (menekuk, me-regang, mendorong dan sebagainya)
Gerak Manipulasi (memantul, melem-par, memukul dan sebagainya)
Pengelompokan ini memung-kinkan bagi siswa untuk meniru dan melakukan suatu atau sekelompok ge-rakan yang dipilih dari kategori yang berbeda.
Gerak Lokomotor (berjalan, berlari, mengayuh sepeda, dan lain sebagai-nya)
Gerak Non Lokomotor (menekuk, me-regang, mendorong dan sebagainya)
Gerak Manipulasi (memantul, melem-par, memukul dan sebagainya)
Pengelompokan ini memung-kinkan bagi siswa untuk meniru dan melakukan suatu atau sekelompok ge-rakan yang dipilih dari kategori yang berbeda.
3. Kualitas Gerak
(Qualities of Move-ment-How does the Body Move)
Bagaimana tubuh
bergerak dipe-ngaruhi oleh kualitas-kualitas tertentu dari gerakan termasuk
waktu, kekuatan, aliran, dan ruang. Faktor tambahan seperti ukuran tubuh dan
hubungan tubuh terhadap orang lain atau objek juga mempengaruhi gerakan tubuh.
a. Waktu (Time)
Waktu berhubungan
dengan ke-cepatan pada saat gerakan dilakukan. Hal ini mungkin bervariasi dari
kecepatan yang sangat cepat hingga sangat pelan. Pada beberapa cabang olahraga
kemampuan untuk mengubah kecepatan merupakan hal yang diperlukan, dan juga
gerakan eksplosif secara tiba-tiba juga diperlukan pada beberapa kegiatan
cabang olahraga, seperti bola basket,dimana pertimbangan power/daya ledak
sangat di-perlukan untuk melakukan rebound.
b. Kekuatan (Force)
Kekuatan adalah
potensi atau kemampuan yang dimiliki tubuh untuk
melawan beban atau tahanan. Kekuatan itu dapat diamati dan efek dari
apa yang dirniliki tubuh sesorang ter-hadap objek yang lain. Efek itu tercer-
min dengan bergeraknya atau berkembangnya obyek. Kekuatan yang diturunkan oleh tubuh diproduksi oleh kontraksi otot. Sebagai tambahan da-lam proses produksi kekuatan, tubuh juga mampu menerapkan dan menyerap kekuatan. Gerakan-gerakan yang
berbeda membutuhkan bermcam-macam tingkatan kekuatan dan penerap-
pan yang benar dari kekuatan tersebut untuk mendukung gerakan. Sebagai contoh, karena perbedaan alat, akan diperlukan kekuatan yang lebih kecil untuk memukul bola dengan pemukul yang lebih panjang dari pada pemukul yang lebih pendek, tuas yang lebih panjang akan mengakibatkan keun-tungan mekanik. Ada beberapa saat yang tepat dalam menggunakan keku-atan kekuatan. Kekuatan itu harus digunakan untuk menggerakkan tubuh atau bagiannya dalam suatu ruang, untuk melawan tarikan gravitasi, atau menjaga suatu postur atau posisi tubuh yang baik. Satu faktor penting dalam mempertimbangkan kekuatan, yaitu bahwa kekuatan tersebut harus dikontrol.
c. Aliran (Flow)
melawan beban atau tahanan. Kekuatan itu dapat diamati dan efek dari
apa yang dirniliki tubuh sesorang ter-hadap objek yang lain. Efek itu tercer-
min dengan bergeraknya atau berkembangnya obyek. Kekuatan yang diturunkan oleh tubuh diproduksi oleh kontraksi otot. Sebagai tambahan da-lam proses produksi kekuatan, tubuh juga mampu menerapkan dan menyerap kekuatan. Gerakan-gerakan yang
berbeda membutuhkan bermcam-macam tingkatan kekuatan dan penerap-
pan yang benar dari kekuatan tersebut untuk mendukung gerakan. Sebagai contoh, karena perbedaan alat, akan diperlukan kekuatan yang lebih kecil untuk memukul bola dengan pemukul yang lebih panjang dari pada pemukul yang lebih pendek, tuas yang lebih panjang akan mengakibatkan keun-tungan mekanik. Ada beberapa saat yang tepat dalam menggunakan keku-atan kekuatan. Kekuatan itu harus digunakan untuk menggerakkan tubuh atau bagiannya dalam suatu ruang, untuk melawan tarikan gravitasi, atau menjaga suatu postur atau posisi tubuh yang baik. Satu faktor penting dalam mempertimbangkan kekuatan, yaitu bahwa kekuatan tersebut harus dikontrol.
c. Aliran (Flow)
Aliran (Flow) itu
merupakan ke-lanjutan atau koordinasi gerakan. Suatu gerakan yang halus, dan
mengalir membutuhkan kontrol kekuatan inter-nal maupun eksternal, sehingga akan
ada trasisi yang sesuai dari berbagai gerakan tersebut. Gerakan itu secara
bebas mengalir atau mereka mungkin merupakan gerakan yang berbentuk aliran.
Gerakan dengan aliran gerak bebas menggambarkan suatu gerakan yang dilanjutkan
hingga diakhiri dengan kontrol. Dalam hal lain, gerakan yang berbentuk aliran
mengarah pada gerakan yang dapat dihentikan sementara sambil menjaga
keseimbangan pada beberapa titik gerakan. Suatu con-toh ialah saat melakukan
suatu rang-kaian gerakan senam di atas matras, dimana pada beberapa titik
pesenam tersebut membutuhkan menghentikan gerakan dalam posisi seimbang
sebe-lum melanjutkan rangkaian gerakan yang terkoordinasi dengan baik.
d. Ukuran Tubuh (Body Shape)
d. Ukuran Tubuh (Body Shape)
Ukuran tubuh
mengarah pada po-sisi tubuh dalam ruang. Perubahan ukuran dalam gerak, kadang
tubuh diregangkan (memanjang atau mele-bar) atau dibengkokkan (melipat atau
mengerut dan melingkar). Dalam membentuk tubuh untuk bergerak pada daerah yang
terbatas, dapat terjadi be-ragam kegiatan diperlukan tubuh untu mencapai ukuran
tertentu.
4. Hubungan
(Relathionshin)
Hampir di semua
cabang olah-raga, menari dan kegiatan yang meng-gunakan alat, anak tidak
bergerak sendiri dalam ruangan. Mereka bergerak bersama seseorang, melawan
sese-orang, mengatasi rintangan atau menggunakan alat dari berbagai jenis.
a. Hubungan dengan Benda (Obyek)
a. Hubungan dengan Benda (Obyek)
Ada dua bentuk dasar
hubungan dengan obyek, yaltu mempulasi dan nonmanipulasi. Hubungan manipulasi,
anak dipusatkan dengan usaha mengontrol gerakan dari obyek, seperti melempar
bola pada sasaran tertentu. Hubungan nonmanipulasi bertujuan untuk menyesuaikan
gerakannya ter-hadap obyek yang tetap, seperti me-lakukan rangkaian gerakan di
atas mat-ras.
b. Hubungan dengan
Manusia
Katagori gerakan ini
mencakup gerakan-gerakan apa saja yang mung-kin dan sering dilakukan dengan
orang lain. Ada beberapa kemungkinan yang bisa dikembangkan. Tidak adanya orang
lain yang bergerak (kerja indi-vidu) mengarah pada satu situasi di mana pelaku
secara keseluruhan bebas dan bertanggung jawab atas gerakan yang dilakukannya
sendiri. Di saat be-kerja dengan orang lain / partner, atau melawan orang lain
seseorang mung-kin menirukan pola gerakan orang lain. Pada saat bekerja dalam
suatu ke-lompok, seseorang mungkin bergerak mengikuti pemimpin/gurunya baik
un-tuk bernerak denvan beberana orang lain, bergerak dalam merespon kelom-pok
lain, dan bergerak dalam berbagai situasi. Semua gerakan yang dilakukan bersama
orang lain hares dikoordi-nasikan.
Tuiuan program secara keseluruhan dalam mempelaiari hubungan antara manusia ialah kemampuan un-tuk mengoordinasikan pola¬pola gerak-an tersebut dalam ruangan, dengan su-atu pandangan kearah penggunaan pengetahuan tentang kualitas gerakan, kesadaran tubuh, dan perbedaan bentuk gerakan.
Tuiuan program secara keseluruhan dalam mempelaiari hubungan antara manusia ialah kemampuan un-tuk mengoordinasikan pola¬pola gerak-an tersebut dalam ruangan, dengan su-atu pandangan kearah penggunaan pengetahuan tentang kualitas gerakan, kesadaran tubuh, dan perbedaan bentuk gerakan.
KINESTETIK
BAGIAN DARI KECERDASAN MAJEMUK
Kegiatan Pendidikan
anak usia dini hendaknya memperhatikan 9 (sembilan) kemampuan kecerdasan anak,
yaitu :
(1)Kecerdasan Linguistik (Linguistic Intelligence) yang dapat berkembang bila dirangsang melalui berbicara, mendengar, membaca, menulis, diskusi, dan bercerita.
(2) Kecerdasan Logika Matematika (Logico-Matematical Intelligence) yang dapat dirangsang melalui kegiatan menghitung, membedakan bentuk, menganalisis data, dan bermain dengan benda-benda.
(3) Kecerdasan Visual Spasial (Visual Spasial Intillegence) yaitu kemampuan dalam memahami ruang yang dapat dirangsang melalui bermain balok-balok dan bentuk-bentuk geometri, melengkapi puzzle, menggambar, melukis, menonton film maupun bermain dengan daya khayal(imajinasi)
(4)Kecerdasan Musikal (Musical / Rhytmic Intelligence) yang dapat dirangsang melalui irama, nada birama, berbagai bunyi dan bertepuk tangan.
(5) Kecerdasan Kinestetik (Bodily / Kinesthetic Intelligence) yang dapat dirangsang melalui gerakan, tarian, olah raga, dan terutama gerakan tubuh.
(6) Kecerdasan Naturalis (Naturalist Intelligence), yaitu mencintai keindahan alam, yang dapat dirangsang melalui pengamatan lingkungan, bercocok tanam, memelihara binatang, termasuk mengamati fenomena alam seperti hujan, angin, banjir, siang-malam, panas-dingin, bulan-matahari.
(7) Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal Intelligence) yaitu kemampuan untuk melakukan hubungan antar manusia (berkawan) yang dapat dirangsang melalui bermain bersama teman, bekerja sama, bermain peran, dan memecahkan masalah serta menyelesaikan konflik.
(8) Kecerdasan Intarpersonal (Intarpersonal Intelligence) yaitu kemampuan memahami diri sendiri yang dapat dirangsang melalui pengembangan konsep diri, harga diri, mengenal diri sendiri, percaya diri, termasuk kontrol diri dan disiplin.
(9) Kecerdasan Spiritual (Spiritual Intelligence) yaitu kemampuan mengenal dan mencintai ciptaan tuhan, yang dirangsang melalui penanaman nilai-nilai moral dan agama.
Kecerdasan Kinestetik yang merupakan bagian dari kecerdasan majemuk adalah ruang lingkup pembinaan penjaskes pada usia dini, senantiasa menuntut para pembina untuk dapat membimbing gerak fisik untuk keperluan pengendalian perawakan sehingga berkembang pada penguasaan ketrampilan yang optimal, demikian saja tidak menjadi cukup apabila seorang pembina penjaskes tidak mampu mengarahkan gerak fisik anak untuk sekaligus sebagai pengembangan 8 (delapan) kecerdasan yang lain.
(Contoh-contoh pengembangan kecerdasan majemuk melalui kecerdasan kinestetik akan disamaikan pada kesempatan yang lain)
(1)Kecerdasan Linguistik (Linguistic Intelligence) yang dapat berkembang bila dirangsang melalui berbicara, mendengar, membaca, menulis, diskusi, dan bercerita.
(2) Kecerdasan Logika Matematika (Logico-Matematical Intelligence) yang dapat dirangsang melalui kegiatan menghitung, membedakan bentuk, menganalisis data, dan bermain dengan benda-benda.
(3) Kecerdasan Visual Spasial (Visual Spasial Intillegence) yaitu kemampuan dalam memahami ruang yang dapat dirangsang melalui bermain balok-balok dan bentuk-bentuk geometri, melengkapi puzzle, menggambar, melukis, menonton film maupun bermain dengan daya khayal(imajinasi)
(4)Kecerdasan Musikal (Musical / Rhytmic Intelligence) yang dapat dirangsang melalui irama, nada birama, berbagai bunyi dan bertepuk tangan.
(5) Kecerdasan Kinestetik (Bodily / Kinesthetic Intelligence) yang dapat dirangsang melalui gerakan, tarian, olah raga, dan terutama gerakan tubuh.
(6) Kecerdasan Naturalis (Naturalist Intelligence), yaitu mencintai keindahan alam, yang dapat dirangsang melalui pengamatan lingkungan, bercocok tanam, memelihara binatang, termasuk mengamati fenomena alam seperti hujan, angin, banjir, siang-malam, panas-dingin, bulan-matahari.
(7) Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal Intelligence) yaitu kemampuan untuk melakukan hubungan antar manusia (berkawan) yang dapat dirangsang melalui bermain bersama teman, bekerja sama, bermain peran, dan memecahkan masalah serta menyelesaikan konflik.
(8) Kecerdasan Intarpersonal (Intarpersonal Intelligence) yaitu kemampuan memahami diri sendiri yang dapat dirangsang melalui pengembangan konsep diri, harga diri, mengenal diri sendiri, percaya diri, termasuk kontrol diri dan disiplin.
(9) Kecerdasan Spiritual (Spiritual Intelligence) yaitu kemampuan mengenal dan mencintai ciptaan tuhan, yang dirangsang melalui penanaman nilai-nilai moral dan agama.
Kecerdasan Kinestetik yang merupakan bagian dari kecerdasan majemuk adalah ruang lingkup pembinaan penjaskes pada usia dini, senantiasa menuntut para pembina untuk dapat membimbing gerak fisik untuk keperluan pengendalian perawakan sehingga berkembang pada penguasaan ketrampilan yang optimal, demikian saja tidak menjadi cukup apabila seorang pembina penjaskes tidak mampu mengarahkan gerak fisik anak untuk sekaligus sebagai pengembangan 8 (delapan) kecerdasan yang lain.
(Contoh-contoh pengembangan kecerdasan majemuk melalui kecerdasan kinestetik akan disamaikan pada kesempatan yang lain)
senin, 22 februari 2010
PENDIDIKAN
JASMANI UNTUK USIA DINI
Pendidikan jasmani
pada anak usia dini harus ditangani secara tepat, untuk itu setiap pembina
pendidikan jasmani sudah semestinya memikirkan secara mendalam apa itu
pendidikan jasmani, untuk keperluan apa, bagaimana penanganan yang sesuai,
karakter moral yang harus ditanamkan, dan pencapaian kemampuan gerak yang
dihasilkan.
Melalui penanganan yang tepat diharapkan perkembangan motorik dan ketrampilan motorik anak akan mendukung aspek penting kehidupan anak menyongsong masa depannya, diantaranya : kesehatan yang baik, katarsis emosional, kemandirian, hiburan diri, hubungan sosial dan percaya diri.
Kegiatan pendidikan jasmani pada anak usia dini menitik beratkan pada pengembangan kecerdasan kinestetik (gerak) untuk mendukung pengembangan kecerdasan yang lain. Diharapkan pembina pendidikan jasmani mampu memberikan suplemen gerak secara tepat dengan mengkaitkan pada pengembangan kecerdasan yang lain, misalkan pengembangan kecerdasan logika matematika melalui gerak lari memindahkan bendera dengan jumlah yang dientukan.
Selain pengembangan kecerdasan majemuk melalui kecerdasan kinestetik, pendidikan jasmani haruslah mempertimbangkan taksonomi gerak sebagai acuan pencapaian dasar-dasar gerak yang akan mampu membekali pencapaian kemampuan gerak yang lebih komplek dimasa mendatang. Dengan demikian kemampuan pembina pendidikan jasmani dalam mengkaitkan kecerdasan majemuk dan layanan terhadap kebutuhan taksonomi gerak adalah faktor penting keberhasilan pendidikan jasmani. Tidak kalah pentingnya adalah kerjasama pembina pendidikan jasmani dengan orangtua anak didik dalam pemantauan postur tubuh anak, sehingga kesempurnaan perawakan anak akan mendukung proses hidupnya dimasa mendatang. (kecerdasan majemuk, taksonomi gerak, dan postur tubuh akan dibahas topik lain)
Melalui penanganan yang tepat diharapkan perkembangan motorik dan ketrampilan motorik anak akan mendukung aspek penting kehidupan anak menyongsong masa depannya, diantaranya : kesehatan yang baik, katarsis emosional, kemandirian, hiburan diri, hubungan sosial dan percaya diri.
Kegiatan pendidikan jasmani pada anak usia dini menitik beratkan pada pengembangan kecerdasan kinestetik (gerak) untuk mendukung pengembangan kecerdasan yang lain. Diharapkan pembina pendidikan jasmani mampu memberikan suplemen gerak secara tepat dengan mengkaitkan pada pengembangan kecerdasan yang lain, misalkan pengembangan kecerdasan logika matematika melalui gerak lari memindahkan bendera dengan jumlah yang dientukan.
Selain pengembangan kecerdasan majemuk melalui kecerdasan kinestetik, pendidikan jasmani haruslah mempertimbangkan taksonomi gerak sebagai acuan pencapaian dasar-dasar gerak yang akan mampu membekali pencapaian kemampuan gerak yang lebih komplek dimasa mendatang. Dengan demikian kemampuan pembina pendidikan jasmani dalam mengkaitkan kecerdasan majemuk dan layanan terhadap kebutuhan taksonomi gerak adalah faktor penting keberhasilan pendidikan jasmani. Tidak kalah pentingnya adalah kerjasama pembina pendidikan jasmani dengan orangtua anak didik dalam pemantauan postur tubuh anak, sehingga kesempurnaan perawakan anak akan mendukung proses hidupnya dimasa mendatang. (kecerdasan majemuk, taksonomi gerak, dan postur tubuh akan dibahas topik lain)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar